Ara's Dairy

Ara’s Dairy


  Hai perkenalkan namaku Vinara Apriani, teman-teman biasa memanggilku Ara. Saat ini aku berada di taman kota bersama sahabatku, Ran, gadis manis yang beberapa hari ini mendadak jadi orang yang pendiam. Helaan nafas panjang terdengar darinya, sepertinya saat ini ia sedang menanggung beban yang cukup berat. Aku bukan hanya sekedar menebak atau bahkan cenayang, lihatlah ekspresinya yang sangat mengerikan itu, siapapun pasti akan berfikir sama seperti ku.

Aku mulai berpaling dari wajahnya dan memfokuskan pandanganku pada awan yang kini tengah menari dengan bebasnya. Seolah awan-awan itu memberiku sebuah ide untuk memulai percakapan dengannya. 

“Kau tahu Ran, hal apa yang sangat menyakitkan ?” tanyaku padanya. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku meneruskan perkataanku. 

”Harapan. Yah, harapan itu sangat kejam Ran. Karena ia mampu menghadirkan rasa sakit yang sangat mendalam. Bukan, bukan harapan yang Allah berikan kepada kita yang saat ini kubicarakan. Melainkan harapan yang diberikan dan diharapkan dari seorang manusia”. Ran, si gadis manis disampingku pun menoleh, mulai tertarik dengan apa yang kubicarakan.

”Kau tahu Ran, didunia ini banyak manusia yang menjanjikan hal manis pada manusia lainnya. Tanpa mereka sadari, ada orang lain yang mengharapkan mereka mampu memenuhi janji yang telah mereka ucapkan. Aku tak tahu apa masalahmu, yang ingin ku sampaikan hanyalah agar kau tetap bahagia, teruslah melangkah kedepan dan rajutlah masa depanmu dengan benang-benang impian yang kau miliki” perkataanku terjeda sejenak untuk membenarkan posisi dudukku, lalu menolehkan kembali wajahku padanya yang kini tengah memperhatikanku dengan serius. Seolah-olah aku ini seorang guru yang tengah menjelaskan sebuah materi.

“Jangan terlalu berharap pada janji yang diberikan manusia Ran. Memang, pada awalnya semua terlihat indah dan terlihat sangat meyakinkan.  Namun kau harus sadar Ran, jikalau nanti mereka tak mampu memenuhi janji yang telah mereka berikan padamu, kau sendiri yang akan sangat terluka. Percayalah, harapan itu tetap ada. Kau boleh berharap sebanyak apapun yang kau mau, sebanyak yang kau bisa. Tapi kau harus sadar Ran, kau harus mempersiapkan dirimu untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari. Jangan buang masa mudamu dengan percuma. Fikirkanlah Ran apa yang kukatakan ini”. Kataku padanya yang ku akhiri dengan sebuah senyuman.

”Hmm aku haus Ran, dari tadi ngoceh kaya emak-emak kekurangan jatah uang belanja. Apakah kau ingin jus untuk merubah mood mu Ran ? Hmm sepertinya jus pare pahit cukup ampuh untuk merubah moodmu yang menyeramkan ini Ran hahaha” candaku padanya, dan senyuman itu, meskipun tipis telah terukir diwajahnya. 

”Nah, begini kan lebih bagus Ran. Kau tersenyum, dan teruslah tersenyum seperti ini Ran. Karena senyuman ini lebih cocok untuk menghiasi wajahmu yang manis, dibandingkan dengan wajah depresi seperti orang yang tidak tidur tiga hari tiga malam memikirkan kekasih hati yang kabur layaknya zombie hahaha” tawa ku pun pecah melihatmu mendelik kearahku karena ucapanku barusan. 

“Sudahlah Ran aku ingin kesana membeli minuman, sementara aku pergi, fikirkan dan renungkanlah perkataanku baik-baik”. Ucapku setelah berhasil meredam tawaku, lalu beranjak pergi meninggalkan Ran dan fikirannya. Semoga saja kau mampu menemukan solusi terbaik dari masalah yang kini kau hadapi Ran, bisikku dalam hati.

Setelah membeli 2 botol minuman dingin dan beberapa bungkus snack, akupun kembali ketempat semula, bangku taman dimana ada Fyoni Rannia alias Ran yang tengah melamun memikirkan kata-kataku tadi, mungkin, fikirku. Segera saja ide jahil muncul di kepalaku yang tentu saja tak botak ini. Aku berjalan mengendap-endap kearahnya, layaknya maling yang takut ketahuan akan aksinya. Setelah berhasil mendekat tanpa ia sadari, segera saja kutempelkan sebotol minuman dingin ke pipinya, dan itu sukses membuatnya kaget dan tersadar dari lamunannya. Ekspresinya yang lucu sukses membuatku tertawa dan saling melempar canda, hingga akhirnya sebuah pesan masuk di hp ku menyadarkan kami bahwa ini saatnya kami kembali kerumah.

Rumahku dan rumah Ran berbeda arah, sehingga di tempat itu juga kami berpisah dan tak lupa pula aku berpesan pada Ran untuk mengabariku jikalau ia sedang dalam masalah ataupun sekedar ingin berbagi kisah. Ia pun mengangguk mengiyakan perkataanku. Setelahnya kami berpisah dan menuju rumah masing-masing.

Sesampaiku dirumah, akupun langsung menuju kamar dan membersihkan diri. Setelahnya, aku melaksanakan tugas-tugasku dirumah. Bergegas menyelesaikannya karena malam akan segera tiba dan tradisi makan malam bersama pun juga telah menanti. Setelah makan malam, aku hanya mengobrol sebentar dengan adikku karena aku sudah mengantuk dan ingin segera tidur.

Oh iya, aku dan Ran di pertemukan sekitar 4 tahun lalu. Pertemuan yang sudah di takdirkan Tuhan untuk kami. Ran adalah teman SMA ku. Kami dipertemukan dikelas yang sama, dia duduk tepat di depanku yang kemudian menjadi teman sebangku ku ditahun berikutnya hingga kami menyelesaikan masa putih abu-abu. Dia anak yang manis, rajin, pintar, dan memiliki selera humor yang tinggi. Banyak waktu yang telah kami lalui bersama, dia salah satu sahabat terbaikku. Namun sekarang waktu tak mengizinkan kami untuk sering bertemu. Yah, alasannya adalah karena dia kini menempuh pendidikan di salah satu universitas di provinsi yang berbeda denganku.

Jika kalian menanyakan mengapa aku bisa bertemu dengannya hari ini, tentu saja jawabannya karena kami sudah janjian sebelumnya. Dan kebetulan jadwal libur kami sama, meskipun dia yang terlebih dahulu libur dibandingkan aku. Hmm berbicara tentangnya membuatku berfikir tentang masalah yang sedang ia hadapi. Menelisik dari ekspresinya, aku menduga dia sedang patah hati. Sepertinya, nasihat yang kuberikan padanya tidak terlalu buruk dan sesuai dengan keadaannya.

Mengingat ekspresinya membuatku teringat dengan diriku beberapa tahun silam. Saat dimana aku belum mengerti akan desiran hangat dalam dada, yang kemudian kini ku mengerti, itulah yang dinamakan cinta. Saat dimana semua terasa indah, terasa sangat menyenangkan hingga membuatku lupa bahwa hal itulah yang akhirnya membuatku jatuh dalam kekecewaan karena tak bijak dalam menyikapi desiran hangat itu.

Aku pernah merasakan kecewa karena orang yang ku anggap sebagai teman dekatku marah karena aku tak membalas rasanya, merasakan kecewa karena dimusuhi teman dekat bahkan sahabat, dan aku pernah merasa kecewa karena kepercayaanku dikhianati, dan yang paling menyakitkan diantara itu semua adalah rasa kecewa akibat cinta yang belum waktunya. Mengapa ? Karena dalam hal ini aku bisa merasakan semua kekecewaanku yang sebelumnya menjadi satu padu.

Dering suara alarm dari ponsel membangunkanku dan menandakan bahwa malam telah berganti dengan fajar. Waktunya bagiku untuk memulai segala aktifitasku seperti biasanya. Aku pun bergegas bangkit dari tempat ternyamanku saat ini –ranjang-, dan segera membersihkan diri serta menyelesaikan segala kewajibanku sebelum aku berangkat mengajar. Oh ya, aku lupa memberitahu kalian. Selama libur kuliah aku mendapatkan tawaran untuk mengajar di salah satu yayasan di dekat rumahku. Setelah sarapan akupun pamitan pada ibu dan bergegas menuju sekolah.

“Bu, Ara pergi. Assalamu’alaikum” kataku sembari mengecup tangannya.

“Wa’alaikumussalam, hati-hati dijalan nak. Dan sabarlah dalam mengajar serta mendidik anak muridmu Ra” jawab ibu yang disertai dengan senyuman.

“Ayey kapten” kataku pada ibu

“InsyaAllah anakmu ini akan bersabar dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik Bu” sautku kemudian.

Setelahnya kuberikan sebuah senyuman pada ibu dan akupun melangkah pergi meninggalkan rumah, tak lupa pula ku ucapkan bismillahirramanirrahim sebelum keluar dari pintu rumah.

Saat ini aku berada di kafetaria dekat kota. Menikmati semangkuk sup yang memang sengaja ku pesan sembari menunggu Ran tiba. Ya, Ran tadi menghubungiku disela-sela jam istirahatku. Ia ingin bertemu, dan ada hal yang ingin ia bicarakan denganku. Baru saja ku ceritakan, kini orangnya telah menampilkan cegirannya begitu melihatku dari pintu masuk cafetaria ini.

“Sorry telat, udah lama nunggu ya ?” katanya begitu tiba di hadapanku.

“Santai aja kali Ran, kaya sama siapa aja kamu ini. Belom lama aku  sampe sini, karena laper jadi aku pesen sup deh buat ganjel perut” jawabku disertai cengiran.

“Oh iya, katanya  ada hal yang mau kamu bicarakan padaku ? Tentang apa ?” tanyaku padanya lalu kembali berucap,

“Hmm sebaiknya kamu pesan makanan dulu sembari membicarakan apa yang ingin kamu sampaikan padaku” ucapku kemudian.

Setelah memesan nasi goreng seafood dan secangkir moccalate ia pun mulai bercerita.

“Ra, menurutmu lebih baik menunggu atau meninggalkan ?” tanyanya padaku. 

“Menurutku ? Tergantung bagaimana situasinya Ran. Kau sedang patah hati ?” jawab dan tanyaku kembali. 

“Ra, ketika kamu masih sayang dengan seseorang dan telah menjalin hubungan cukup lama, kamu telah menjaga hati untuk selalu setia pada orang tersebut, tapi tiba-tiba orang tersebut memutuskan hubungan itu sepihak tanpa ada penjelasan. Padahal, sebelumnya kalian baik-baik saja, tak ada masalah apapun. Lalu apa yang akan kamu lakukan Ra ? Menunggu penjelasan darinya atau melupakan segalanya  dan segera meninggalkannya ?” bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah kembali bertanya. Mungkin dia ingin menceritakan masalahnya, namun dia bingung ingin mulai dari mana fikirku.

“Lebih baik meninggalkan dan melupakannya. Mengapa ? Karena jika aku tetap bertahan untuk menunggunya memberi penjelasan itu akan membuatku semakin sakit. Karena sudah jelas aku akan terus-menerus memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari penjelasan yang akan dia berikan padaku. Namun jika kau benar-benar ingin tahu apa alasan dia melakukan itu, selagi kau masih bisa menghubunginya mengapa tak kau tanyakan saja padanya langsung. Sehingga beban yang menghimpit dada musnah dan hatipun menjadi plong. Ini menurutku Ran” jawabku.

“Kenapa Ran ?” sautku kemudian, karena ia tampak sedang berfikir.

”Lalu bagaimana jika sudah kita tanyakan padanya apa alasan dia melakukan hal itu, tapi jawaban dia dan sikap dia ke kita malah semakin membuat kita bimbang untuk meninggalkan atau menunggu ?” jawab dan tanyanya padaku.

“Misalnya ?” tanyaku. 

”Seperti ini misalnya, ketika kita tanya begini, sebenernya kamu masih sayang atau tidak padaku ? Kau yang memutuskan hubungan diantara kita, tapi kau tetap saja memberiku perhatian layaknya kita masih sepasang kekasih, kau masih saja tetap menghubungiku, dan kau masih saja marah ketika aku bermain dengan teman-teman laki-laki yang ku kenal, padahal itu reunian teman sekelasku dulu.” Aku pun menyimak dengan baik setiap kata yang terucap dari bibirnya.

“Lalu dia menjawab begini, bukannya aku tak lagi sayang padamu, aku masih sayang bahkan masih sangat sayang padamu. Tapi, aku dengan kehidupanku sendiripun masih kaya gini, masih banyak yang salah dan belum ku perbaiki. Aku marah saat mengetahui kau bermain dengan teman-teman laki-laki mu karena aku cemburu. Aku masih terus memperhatikanmu dan terus menghubungimu karena aku masih ingin kembali padamu. Tapi mau bagaimana lagi, aku yang membuat keputusan aku juga harus bisa menerima resikonya. Jangan nangis, kita masih bisa berteman baik seperti dulu kan ?” jelas Ran padaku.

”Hmm jangan-jangan ini kisahmu Ran ? Iyakan ?”  tanyaku penuh selidik. Sebelum dia menjawab aku kembali berucap,

“Apa kau ingin seperti dulu Ran ? Aku tau, ini kisahmu dengan Jimmie kan ? Apa kau ingin kembali menunggu tanpa kepastian ? Apa kau ingin kembali menjalin hubungan tanpa status seperti dulu ? Saling sayang tanpa ada status dan nyatanya kalian hanya berteman ?” tanyaku padanya.

Ran terdiam, sepertinya perkataanku benar. Kemudian dia menarik nafas panjang dan melepaskannya lalu dia berucap,

“Kau tau kan Ra, aku sangat sayang padanya. Sudah sejak sebulan yang lalu, hampir dua bulan tepatnya dia memutuskanku. Tapi sikap dia seperti yang tadi ku katakan Ra. Lalu apa yang harus ku lakukan Ra ? Menunggu atau meninggalkan Jimmie ? Kau tau kan, kalau soal menunggu aku pasti sanggup. Karena selama ini aku pun sudah setia, menutup hati untuk yang lain demi Jimmie meski kami selama ini LDR an. Tapi aku takut Ra, aku takut ketika aku telah menunggunya sekian lama, bukan aku lagi rumahnya, bukan aku lagi tempat dia pulang Ran”. Entah sejak kapan awan berubah menjadi mendung dan menjatuhkan air matanya. Sepertinya alam ikut merasakan kepedihan hati Ran.

”Kau tau Ran, menunggu tanpa kepastian itu ngga enak, sakit Ran sakit. Aku tau, kau tak meminta Jimmie untuk segera melamarmu. Tapi kau harus sadar Ran, mereka yang sudah terikat dengan janji suci masih bisa berpisah. Apalagi kau yang menunggunya tanpa kepastian, terlebih lagi ia tak mengutarakan permintaan ataupun pertanyaan agar kau bersedia menunggunya. Seperti yang ku utarakan padamu kemarin sore, jangan buang masa mudamu dengan sia-sia. Berjuanglah untuk mewujudkan cita-citamu. Jangan patah semangat karena cintamu kandas. Lelah pasti menyapa Ran, tapi percayalah tak ada usaha yang mengkhianati hasil. Belajarlah untuk melupakan Jimmie Ran, aku tau tak mudah bagimu melupakannya, karena kau juga telah merajut kasih dengannya cukup lama” ucapanku terhenti karena pramusaji mengantarkan makanan pesanan Ran. Setelah mengucapkan terimakasih, akupun melanjutkan perkataanku.

”Saranku, untuk Jimmie yang masih saja menghubungimu dan memberimu perhatian layaknya kalian masih bersama dulu. Jangan terlalu kau ambil hati Ran, jangan baper. Memang, siapa yang tidak akan baper ketika orang yang disayang terus-menerus memberi perhatian. Sedikit banyaknya pasti akan membuatmu membangun harapan bahwa kau masih  bisa kembali padanya. Anggap saja dia melakukan itu semua karena tak ingin memutus silaturahmi yang sudah terjalin dengan sangat baik diantara kalian selama ini . Dan untukmu Ran, mulailah mengikis harapanmu sedikit demi sedikit untuk bisa kembali padanya, sehingga ketika dia menghubungimu kembali, kau tak akan baper dan kau bisa lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Jangan sampai kau mati rasa karena hal ini Ran. Lebih mendekatkan diri lagi dengan Allah Ran, ceritakan semuanya dan mintalah petunjuk pada-Nya. Jika memang Jimmie yang terbaik untukmu, mintalah pada Allah untuk membantumu menjaga hati hanya untuk Jimmie seorang dan begitupula dengan Jimmie. Namun jika Jimmie bukan yang terbaik bagimu, maka mohonlah bantuan-Nya untuk melupakan Jimmie dari hatimu, dan melupakanmu dari hati Jimmie. Dan mohonlah pada-Nya untuk membantumu menyembuhkan luka dihatimu Ran” 

”Sudahlah, habiskan dulu pesananmu Ran. Berhubung hari hujan dan suasana dingin sudah menyapa, aku ingin memesan coklat panas. Apa kau mau juga Ran ?” tanyaku padanya yang kemudian dia angguki sebagai bentuk persetujuan.

Setelah memanggil salah satu pramusaji dan memesan pesanan tambahan kami, kami pun larut dalam kegiatan menghabiskan menu makanan yang kami pesan. Hmm tidak, bagi Ran sepertinya dia menghabiskan makanan dan juga memikirkan perkataanku tadi, fikirku.

Rintik hujan yang sejak beberapa menit lalu turun mulai membasahi bumi, mengalunkan melodi yang begitu menenangkan bagiku. Huffffttt, helaan nafas panjang terlepas begitu saja, entahlah, hujan selalu menjadi salah satu hal favoritku. Kedua manik mataku menatap liar jalanan kota dari balik kaca kafetaria, seolah mencari sesuatu yang begitu aku rindukan. Entah apa itu, dan akupun tak ingin memikirkannya. Hawa dingin mulai menyapa kulit wajahku, seolah tak terganggu, aku malah menyesap coklat panas yang berada dalam mug di genggamanku. Coklat panas yang kami pesan tadi.

Tanpa sadar aku berucap “kau tau Ran, ada hal yang tak bisa ku bagi dengan seorangpun. Tetapi aku bisa membagi hal itu dengan hujan. Kau tau, sejujurnya aku heran pada hujan. Mengapa dia begitu setia pada bumi ? Dia tetap saja turun dan menjatuhkan dirinya ke bumi untuk membasahi tanahnya, memberi kehidupan pada setiap makhluk yang ada didalamnya. Padahal, tak sedikit dari manusia yang mengeluhkan kehadirannya ketika dia turun. Aku selalu berfikir, bukankah hujan adalah rahmat yang Allah berikan bagi alam dan isinya ? Yang sudah selayaknya ketika dia turun ke bumi disambut dengan penuh rasa syukur oleh seluruh makhluk bumi.  Namun, seolah tak mendengar beragam keluh kesah bahkan cacian yang keluar dari mulut manusia, dia tetap turun melaksanakan tugasnya dan seolah-olah menutup telinga dari segala hal yang dapat membuatnya terluka. Lantas aku bertanya, bisakah kita  para manusia bersikap seperti hujan ?”

“Lihatlah, hingga kini hujan masih saja setia menemaniku. Kau tau Ran, para pecinta senja, langit, bulan dan bintang mungkin saja saat ini tengah kesal pada hujan, bahkan mungkin juga saat ini sebagian dari mereka sedang mengumpat hujan. Kenapa ? Karena dalam alam fikirku, mungkin saja mereka kesal pada hujan karena telah menghambat aktifitas mereka dan menghalangi mereka untuk memandangi sesuatu yang mereka suka, seperti senja misalnya. Pernahkah kau berfikir seperti ini Ran ?”. Tanya ku pada Ran.

Ran pun menoleh padaku dan menaikkan satu alisnya keatas dan bertanya “berfikir seperti apa Ra ?”.

“Berfikir, seandainya kau menjadi hujan, sanggupkah kau menghadapi segalanya seperti ia ? Menutup telinga dan bersikap seolah-olah siapapun yang menyakiti dan menghinanya adalah saudara kandungnya yang tengah mengajak ia bercanda. Mampukah kau bersikap ramah dan terus bersabar serta menebar senyum pada siapapun ? Mampukah kau untuk terus memberi kehidupan kepada siapapun, meskipun mereka telah membuat salah satu bagian tubuhmu, emm tidak, tetapi sebagian besar tubuhmu yang terluka karena ocehan ataupun perbuatannya padamu ?”

“Akan tetapi, tau kah kau Ran, bahwa jika kita disibukkan untuk mencari perhatian manusia, maka kekecewaan lah yang akan kau dapat. Tapi jika engkau selalu disibukkan dengan mencari perhatian Allah, maka kebahagiaanlah yang akan kau dapatkan Ran. Manusia adalah dominasi yang hanya akan membuatmu menangis dan tertawa. Tapi Allah hanya akan membuatmu bahagia. Ingatkah kau dengan kisah Rabiatul Adawiyah Ran ? Rabiatul Adawiyah adalah seorang wanita sufi yang sangat mencintai Allah, tidak pernah perduli dengan perhatian manusia. Dia hanya melakukan yang terbaik untuk Allah, hanya ada Allah di hatinya. Ketika manusia datang mencelanya, maka ia akan menganggap celaan itu sebagai anugerah. Jika manusia datang untuk memujinya, maka ia akan menganggap pujian itu sebagai bencana. Karena pujian dan perhatian mampu membuat manusia lupa bahwa ia masih memiliki Allah”

“Begitu juga dengan hujan Ran, menurutku, hujan juga melakukan hal yang sama dengan Rabiatul Adawiyah. Meskipun ada yang membencinya, ada yang melukainya, itu tak membuatnya berhenti melaksanakan tugasnya. Karena ia yakin, bahwa  cinta dari Tuhannya lebih kekal dan lebih bisa membahagiakannya daripada rasa cinta dari penggemarnya seperti aku ini. Dan ingatlah Ran, setelah hujan pasti masih ada hari cerah yang menanti, masih ada mentari yang akan bersinar dengan terang dan tak jarang pula setelah hujan akan muncul pelangi. Begitu juga dengan kehidupanmu Ran, dibalik setiap kesedihan yang kau rasakan pasti masih ada kebahagiaan setelahnya. Jangan hanya terpaku pada keadaanmu saat ini, pandanglah hari esok Ran. Persiapkan dirimu untuk hari-hari esok yang akan kau jalani. Tanamkanlah tekad kuat dalam hatimu, bahwa kau mampu meraih segala hal yang kau impikan Ran. Tak perduli seberapa banyak kau jatuh, seberapa banyak orang yang melukai dan mengecewakanmu. Kau akan tetap bangkit dan terus berlari menggapai mimpi dan mewujudkan kebahagiaanmu sendiri”. Jelasku pada Ran, berharap dia dapat menyimpulkan dengan baik segala perkataanku.

Aku tak hanya sembarang berkata padanya, mungkin aku tak memiliki pengalaman sebanyak dia dan tak merasakan seberapa dalam luka serta kekecewaan yang dia rasakan. Namun, aku juga sempat merasakan kekecewaan karena menunggu tanpa sebuah kepastian dan aku tak ingin ia merasakan hal yang sama. Aku juga seperti anak remaja pada umumnya yang pernah merasakan apa itu jatuh cinta, kecewa dan terluka. Dari semua yang ku alami dan ku rasakan, kini aku mengerti tak ada cinta yang setulus cinta dari Allah, Rasulullah, dan kedua orangtua. Dan tak ada keseriusan dari seorang lelaki terhadap seorang wanita sebelum ia datang kerumah untuk bertemu dengan orangtua dan meminta izin untuk meminang wanita tersebut. Mengapa ? Karena itu menunjukkan bahwa ia benar-benar menghargai wanita dan menjaganya. Menjaganya dari cinta yang salah, dosa, dan akibat buruk yang ditimbulkan dari pacaran yang tidak hanya menimpa dirinya tetapi juga kedua orangtuanya.

Setelah menyelesaikan perkataanku, dan menghabiskan menu yang ku pesan, akupun pamit pada Ran untuk segera kembali kerumah. Di perjalanan, aku merasa sangat lega. Karena aku tak hanya sekedar mendengarkan dan bercerita pada Ran, tetapi aku juga mengeluarkan segala hal yang selama ini tersimpan dengan rapi dalam dadaku. Kini rasanya, langkah kaki ku begitu ringan tanpa beban sedikitpun.

Komentar

  1. Maaf yaa teman-teman. Cerita yang sebelumnya Maida hapus. Sekarang Maida post ulang. Semoga suka 😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nikah ?

Semu

Singelillah