Sepenggal Memori dibalik Lagu Ayah

Dini hari, saat sedang mengerjakan tugas kuliah yang menjadi nilai bagi ujian akhir semester di semester 6 (read: pengambilan). Tak sengaja terputar lagu berjudul Ayah dari laptopku. Entah mengapa hatiku tersentak, ngilu, seperti ada luka di sana.

Ya, sengaja sembari mengerjakan tugas ku menghidupkan lagu di laptopku. Menjadi temanku saat mengerjakan tugas. Sebagai anak pertama, aku faham apa makna lagu ini. Perasaan seorang anak ketika telah ditinggal oleh Ayahnya untuk selamanya.

Lirik demi lirik lagu ini semakin menyentakku, membuatku tak berdaya. Bukan, bukan karena ayahku telah tiada. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah subhanahu wata'ala yang hingga diusia ku ke 20 tahun ini Ia masih mengizinkan ku untuk bisa bermanja dan merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah.

Hanya saja, terbiasa ditinggal pergi merantau oleh seorang ayah membuatku sedikit faham bagaimana rasanya sehari tanpa seorang ayah. Bagaimana perasaan mereka yang telah ditinggal pergi oleh ayahnya.

Lantas ada hal yang patut disyukuri bagaimanapun keadaanku saat ini, saat rindu aku masih bisa mengekspresikan rasa rindu itu pada ayahku. Melalui telfon atau via videocall whatsapp. Masih bisa mendengar suaranya meski jauh, masih bisa mendengar nada marahnya ketika disini aku melakukan hal yang tak sesuai dengan harapannya ataupun lainnya, masih bisa bermanja kala dia kembali kerumah.

Berbeda dengan mereka yang telah ditinggal pergi ayahnya, hanya bisa memandang foto ayahnya yang tersimpan rapi dalam figura kala rindu, dan hanya bisa menyemai rindu lewat doa tanpa bisa bertatap muka.

Lagu ini, membuatku membayangkan berbagai hal. Kewajibanku sebagai anak pertama, yang harus melanjutkan perjuangan ayahku dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan ku dan juga adikku. Membayangkan bagaimana kelak perasaan ayahku, ketika aku, anak perempuannya di jemput oleh lelaki yang akan mempersuntingku. Meninggalkannya dan turut serta kemanapun langkah kaki suamiku pergi.

Anak, yang sudah 20 tahun lebih ia rawat. Ia besarkan dengan hasil keringat sendiri, yang sewaktu kecil begitu gembira bermain dengannya. Kini tak bisa lagi seutuhnya ia miliki, tak bisa lagi bermanja dan bermain bersamanya seperti dulu. Tak dapat lagi ia pandang wajahnya setiap hari. Tak dapat lagi ia melihat wajah tenang anaknya yang sedang tertidur dikala malam mengecek kamar putrinya.

Mungkin, ada yang menilaiku diluar sana sebagai anak yang mandiri, kuat, berani, lasak (dalam artian banyak kegiatan) dan pastinya keras kepala. Sejujurnya, aku juga anak yang cukup cengeng dan tergolong manja. Terutama pada ayahku, entahlah, mungkin karena sering ditinggal merantau.

Terkadang kalo ayah dirumah minta diajak jalan jalan, beli jajan ataupun makanan, dan yang paling ku ingat saat mengunjungi acara MTQN di Medan. Walaupun cuma jalan sebentar, ya seneng aja bisa keluar sama ayah. Dari dulu emang lebih deket ke Ayah, sampe mamak pernah cerita kalo kecil dulu jarang mau sama mamak. Maunya sama ayah mulu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nikah ?

Semu

Singelillah